DEWAN KEHORMATAN
DAN
PROSEDUR OPERASIONAL KODE ETIK GURU INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pengertian
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
(1) Dewan Kehormatan Guru
Indonesia (DKGI) adalah perangkat kelengkapan organisasi PGRI yang
dibentuk untuk menjalankan tugas dalam memberikan saran, pendapat,
pertimbangan, penilaian, penegakkan, dan pelanggaran disiplin organisasi
dan etika profesi guru.
(2) Peraturan tentang
Dewan Kehormatan Guru Indonesia adalah pedoman pokok dalam mengelola
Dewan Kehormatan Guru Indonesia, dalam hal penyelenggaraan tugas dan
wewenang bimbingan, pengawasan, dan penilaian Kode Etik Guru Indonesia.
(3) Guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
(4) Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
(5) Penyelenggara
pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang
menyelenggarakan pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis
pendidikan.
(6) Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
(7) Kode
Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima
oleh guru sebagai pedoman sikap perilaku dalam melaksanakan tugas
profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara.
(8) Penanganan
dan pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia, adalah pedoman pokok dalam
penanganan pelanggaran bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya
terhadap etika guru yang telah ditetapkan.
BAB II
KEORGANISASIAN
Pasal 2
Keorganisasian DKGI
Keorganisasian
Dewan Kehormatan Guru Indonesia merupakan peraturan atau pedoman
pelaksanaan yang dijabarkan dari Anggaran Dasar (AD) PGRI BAB XVII pasal
30, dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PGRI BAB XXVI pasal 92 tentang
Majelis Kehormatan Organisasi dan Kode Etik profesi, dalam rangka
penegakan disiplin etik guru.
Pasal 3
Tata Cara Pembentukan
(1) Dewan Kehormatan Guru
Indonesia berada di tingkat pusat, tingkat provinsi, dan
kabupaten/kota, yang di bentuk oleh badan pimpinan organisasi PGRI yang
bersangkutan.
(2) Dewan Kehormatan Guru Indonesia tingkat pusat di sebut sebagai DKGI Pusat, pada tingkat Provinsi di sebut DGKI Provinsi, dan pada Kabupaten/kota di sebut DKGI Kabupaten/Kota.
(3) Pembentukan
DKGI hanya dibenarkan jika di daerah tersebut telah ada pengurus PGRI
tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota : yang masing-masing disebut
pengurus Provinsi dan Kabupaten/kota.
(4) pembentukan DKGI pusat dilakukan oleh Konfrensi pusat (Konpus) PGRI, sedangkan pembentukan di provinsi dan Kabupaten/kota, masing-masing melalui Konfrensi Kerja Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
(5) Untuk kepentingan pertimbangan khusus dalam pengesahan organisasi DKGI dimaksud
dari pengurus besar PGRI sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 diatas,
pengurus PGRI Propinsi dan atau Kabupaten/kota harus mengirimkan
informasi tentang :
a. Data organisasi dan anggota secara lengkap dan menyeluruh.
b. Hal-hal lain yang berkaitan dengan urgensi pembentukan DKGI dimaksud.
Pasal 4
Status
(1) Status DKGI adalah perangkat kelengkapan organisasi PGRI, sehingga keputusannya merupakan keputusan pengurus PGRI.
(2) Status
DKGI Pusat maupun Provinsi dan atau Kabupaten/Kota dalam organisasi
PGRI adalah sebagai badan otonom, dalam pengertian bahwa segala
keputusannya yang diambil tidak bisa dipengaruhi pengurus PGRI atau
badan-badan yang lainnya.
(3) Untuk
menjamin kenetralan sikap dan keputusan yang akan ditetapkan maka
penyelenggaraan tugas dan wewenangnya harus dilakukan secara terpisah
dari pengelolaan berbagai perangkat kelengkapan organisasi PGRI lainnya.
(4) pengelolaan
tugas dan wewenang DKGI harus terpisah dari tugas dan wewenang Pengurus
Besar PGRI dan begitupun selanjutnya sampai ke Provinsi dan atau
Kabupaten/Kota.
Pasal 5
Kedudukan
(1) Kedudukan DKGI pusat berada di tempat kedudukan Pengurus Besar PGRI dan begitupun di tingkat Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
(2) Wilayah kerja DKGI adalah wilayah kerja organisasi PGRI yang setingkat dengan tingkatan dari organisasi PGRI di maksud.
(3) Apabila
pengurus PGRI Provinsi belum terbentuk dan karena itu DKGI belum bisa
terbentuk maka tugas kerja daerah tersebut dijabat oleh pengurus daerah
PGRI terdekat, begitupun dengan PGRI Kabupaten/kota.
(4) Fungsi dan tugas DKGI di tingkat Cabang dan Ranting PGRI menjadi tanggung jawab Pengurus PGRI Kabupaten/kota.
(5) Pelimpahan
tugas sebagaimana disebut dalam ayat 3 di atas ditetapkan melaui Surat
Keputusan pengurus Besar PGRI khusus untuk PGRI Provinsi, dan dari
pengurus PGRI Provinsi untuk PGRI Kabupaten/kota.
Pasal 6
Susunan Pengurus
(1) Susunan
keanggotaan DKGI terdiri dari unsur Dewan Penasehat, Badan Pimpinan
Organisasi, Himpunan Profesi dan Keahlian Sejenis, dan yang lainnya
sesuai dengan keperluan.
(2) Susunan
pengurus DKGI sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua, seorang
wakil ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara, dan 5 anggota dengan
jumlah seluruhnya paling banyak 10 orang untuk pusat, dan
sebanyak-banyaknya 7 orang untuk daerah.
(3) Susunan
anggota DKGI terdiri dari unsur Dewan Pesehat, Badan Pimpinan
Organisasi, Himpunan Profesi dan keahlian Sejenis dan yang lainnya yang
terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda baik profesi maupun
pengalamannya misalnya pendidikan, kebudayaan, kemasyarakatan dan
lainnya.
(4) Jika
diperlukan maka Keanggotaan DKGI bisa saja ditambah sebanyak 3 orang
anggota tidak tetap, yang penunjukkannya atas dasar keperluan terhadap
keahlian tertentu sesuai dengan kasus atau permasalahan yang ditangani.
(5) Selama
menangani masalah, maka anggota DKGI tidak tetap sebagaimana ayat 4 di
atas pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggota
tetap lainnya.
(6) Masa jabatan anggota DKGI tidak tetap segera berakhir apabila masalah yang ditangani sudah selesai berdasarkan berbagai sisi norma dan ketentuan yang ada.
Pasal 7
Tata Cara Penyusunan Pengurus dan Anggota
(1) Ketua
DKGI Pusat dipilih melalui Konfrensi Pusat PGRI, dan ketua di Provinsi
dan atau Kabupaten/Kota melalui Konferensi Kerja PGRI Provinsi dan atau
Kabupaten/kota.
(2) Ketua
DKGI terpilih selaku formatur tunggal dan atas dasar masukan dari
pengurus PGRI berkewajiban untuk segera menunjuk, mengangkat dan
menetapkan sekertaris, bendahara dan anggota secara lengkap.
(3) Sebelum
DKGI menjalankan fungsi dan tugasnya maka ketua DKGI memberitahukan
terlebih dahulu kepada pengurus PGRI tentang susunan pengurus secara
resmi dan lengkap.
(4) Penunjukkan,
pengangkatan dan pengesahan anggota DKGI tidak tetap dilakukan oleh
ketua DKGI atas musyawarah dengan pengurus dan konsultasi dengan
pengurus PGRI.
(5) Apabila
salah seorang anggota DKGI meninggal dunia atau mengundurkan diri atau
karena suatu hal diberhentikan sebagai anggota maka penggantiannya
dilakukan oleh ketua DKGI atas musyawarah seperti ayat tersebut di atas.
(6) Pemberhentian
terhadap anggota DKGI hanya dilakukan apabila yang bersangkutan dinilai
melanggar aturan yang ditentukan dan tidak lagi sesuai dengan
syarat-syarat sebagai pengurus atau anggota DKGI.
Pasal 8
Syarat-Syarat Pengurus dan Anggota
Syarat-syarat
yang wajib dipenuhi oleh seseorang untuk dapat dipilih, diangkat, atau
ditunjuk menjadi pengurus atau anggota DKGI adalah guru dan tenaga
kependidikan lainnya yang di yakini
(1) Beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Berjiwa nasionalisme yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
(3) Memiliki kepribadian yang dapat diterima dan disegani serta memiliki kredibilitas profesi kependidikan yang cukup tinggi.
(4) Loyalitas
yang tinggi terhadap organisasi PGRI, peka terhadap perkembangan
permasalahan yang muncul di lingkungan kependidikan dan maupun
kemasyarakatan.
(5) Menguasai masalah Kependidikan, guru dan tenaga kependidikan.
(6) Bersih, jujur, adil, sabar, terbuka dan berwibawa.
Pasal 9
Masa Jabatan Pengurus
(1) Masa jabatan kepengurusan DKGI sama dengan masa jabatan pengurus PGRI yaitu selama 5 tahun.
(2) Masa
jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat satu di atas segera berlaku
setelah adanya pengesahan secara keorganisasian dari Pengurus Besar
PGRI, dan pengesahan kepengurusan dari Pengurus PGRI yang ada pada
daerah tersebut.
Pasal 10
Tugas dan Wewenang
Sesuai dengan AD PGRI BAB XVII pasal 30 ayat 2, dan ART PGRI BAB XXVI pasal 92, maka tugas dan fungsi DKGI adalah :
(1) memberikan
saran, pendapat, dan pertimbangan tentang pelaksanaan, penegakan,
pelanggaran disiplin organisasi dan Kode Etik Guru Indonesia Indonesia
kepada Badan Pimpinan organisasi yang membentuknya tentang:
a. pelaksanaan bimbingan, pengawasan, penilaian dalam pelaksanaan disiplin organisasi serta Kode Etik Guru Indonesia;
b. pelaksanaan, penegakan, dan pelanggaran disiplin organisasi yang terjadi di wilayah kewenangannya;
c. pelanggaran
Kode Etik Guru Indonesia yang dilakukan baik oleh pengurus maupun oleh
anggota serta saran dan pendapat tentang tindakan yang selayaknya
dijatuhkan terhadap pelanggaran kode etik tersebut;
d. pelaksanaan dan cara penegakan disiplin organisasi dan Kode Etik Guru Indonesia; dan,
e. pembinaan hubungan dengan mitra organisasi di bidang penegakan serta pelanggaran disiplin organisasi serta Kode Etik Guru;
(2) pelaksanaan
tugas bimbingan, pembinaan, penegakan disipin, hubungan dan pelaksanaan
Kode Etik Guru Indonesia sebagaiamana ayat-ayat di atas dilakukan
bersama pengurus PGRI di segenap perangkat serta jajaran di semua
tingkatan;
(3) pelaksanaan
tugas penilaian dan pengawasan pelaksanaan kode etik profesi
sebagaimana ayat-ayat di atas dilakukan melalui masing-masing DKGI di
semua tingkatan organisasi.
Pasal 11
Pertanggung Jawaban
DKGI
Pusat bertanggung jawab kepada Pengurus Besar PGRI melalui Kongres dan
Konpus PGRI; DKGI PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota bertanggung
jawab kepada Pengurus PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota melalui
Konprov/Konkerprov dan Konkab/Konkot dan atau Konkerkab/Kot di Provinsi
dan atau di Kabupaten/kota.
Pasal 12
Ketentuan Persidangan
DKGI
pada waktu melaksanakan tugas dan fungsinya terutama tugas penilaian
dan pengawasan perlu menyelenggarakan persidangan-persidangan dengan
ketentuan sebagai berikut :
(1) pelaksanaan persidangan DKGI akan dianggap sah apabila dihadiri lebih dari satu per dua dari jumlah anggota;
(2) waktu
dan jumlah persidangan tergantung kebutuhan, dan hasil dari seluruh
persidangan akan menjadi laporan pertanggungjawaban satu tahun satu kali
dalam forum organisasi yang disebut Konpus, konkerprov dan atau
Konkerkab/kot PGRI, dan lima tahun sekali dalam forum Kongres dan atau
Konkab/kot PGRI;
(3) DKGI
dalam melaksanakan persidangan harus bersifat tertutup, kecuali apabila
dikehendaki lain, dan ditentukan seluruhnya oleh DKGI itu sendiri;
(4) ketua
DKGI menjadi pimpinan sidang, dan apabila berhalangan hadir maka
penggantinya adalah wakil ketua, dan apabila masih juga berhalangan maka
persidangan sementara ditunda;
(5) sekretarias
bertanggung jawab atas seluruh pencatatan dan pelaporan hasil sidang,
apabila sekretaris berhalangan bisa digantikan oleh anggota yang
ditunjuk pimpinan sidang yang disepakati anggota yang lainnya.
Pasal 13
Keputusan Persidanganan
(1) Keputusan
diambil atas dasar musyawarah dan mufakat; dan apabila tidak tercapai
maka pengambilan keputusan diambil atas dasar perhitungan suara
terbanyak.
(2) Perhitungan suara dilakukan secara bebas dan rahasia dari setiap anggota yang memiliki hak bicara atau hak suara.
(3) keputusan yang diambil harus diteruskan ke Pengurus PGRI yang setingkat untuk segera ditindaklanjuti seperlunya.
Pasal 14
Garis Hubungan Kerja
(1) Garis
hubungan kerja antara DKGI pusat dengan Provinsi dan atau
Kabupaten/kota adalah bersifat konsultatif, pelaporan maupun pelimpahan
wewenang penanganan masalah kasus pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia.
(2) Garis
hubungan kerja DKGI dengan pengurus PB PGRI dan atau Perngurus PGRI
Provinsi dan atau Kabupaten/kota didasarkan bahwa DKGI adalah
kelengkapan perangkat organisasi otonom yang dibanggakan.
(3) Keputusan
DKGI harus mejadi keputusan Pengurus PGRI, dan Pengurus PGRI harus
melaksanakan keputusan DKGI yang setingkat dengan pengurus PGRI.
(4) Apabila
DKGI mengadakan garis hubungan kerja dengan pengurus PGRI yang lebih
tinggi tingkatannya maka harus melalui pengurus PGRI yang setingkat
dengan DKGI tersebut.
Pasal 15
Adminstrasi dan Pendanaan
(1) Administrasi DKGI dikelola oleh sekretaris, dan tatalaksana perkantoran berpedoman/mengikuti dan ditunjang oleh pengurus PGRI.
(2) Pengelola sekretariat DKGI harus bertanggung jawab atas jaminan kerahasiaan seluruh berkas-berkas persidangan dan yang lainnya.
(3) Pendanaan yang dibutuhkan untuk kelancaran dalam menjalankan fungsi dan tugas DKGI menjadi tanggung jawab pengurus PGRI.
BAB III
PEMBINAAN DAN PEMASYARAKATAN
Pasal 16
T u j u a n
Meningkatkan
mutu pengabdian profesi guru dan dan tenaga kependidikan lainnya dalam
mempercepat tercapainya tujuan pembangunan nasional, khususnya program
pembangunan pendidikan, dengan jalan :
(1) meningkatkan
pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia terhadap seluruh guru dan
tenaga kependidikan lainnya serta masyarakat secara umum;
(2) meningkatkan
perilaku guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan etika guru demi terciptanya proses
pengabdian profesi kependidikan yang lebih baik;
(3) menciptakan
suasana masyarakat yang lebih kondusif, sehingga akan lebih
menguntungkan dalam proses pengabdian dan penerapan etika guru.
Pasal 17
Sasaran yang Ingin dicapai
Sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam pasal 17 di atas, maka
sasaran dari pembinaan dan pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia
adalah sebagai berikut :
(1) guru dan tenaga kependidikan lainnya dapat menjalankan pengabdian khususnya di bidang pendidikan dengan baik;
(2) terjadinya pemahaman tentang etika guru bagi calon guru dan tenaga kependidikan lainnya yang berada di lembaga kependidikan;
(3) tumbuhnya
pengakuan dari pemerintah dan masyarakat secara luas akan pengabdian
profesi kependidikan dan Kode Etik Guru Indonesia.
Pasal 18
Jenis Kegiatan
(1) Menganjurkan
kepada pemerintah dan swasta penyelenggra pendidikan untuk memasukan
materi Kode Etik Guru Indonesia khususnya di lembaga kependidikan.
(2) Menyelenggarakan
berbagai pertemuan profesional secara individual kelompok maupun
klasikal dalam membahas dan mengkaji berbagai aspek Etika Guru.
(3) Menyebarluaskan
informasi secara tertulis melalui majalah suara guru dan yang lainnya
tentang Kode Etik Guru Indonesia terhadap calon guru dan guru serta
tenaga kependidikan lainnya.
(4) Menyelenggarakan
berbagai kegiatan lainnya yang dinilai tidak mengikat dan dapat
mencapai pemasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia baik di
lingkungan kependidikan maupun di pemerintahan dan masyarakat.
Pasal 19
Materi Pemasyarakatan dan Pembinaan
(1) Kode Etik Guru Indonesia.
(2) Lapal pengucapan janji dan sumpah guru dan tenaga kependidikan lainnya.
(3) Hukum, aturan dan ketentuan yang ada kaitannya dengan kependidikan.
(4) Status guru.
(5) Materi-materi lain yang dapat dinilai menunjang terhadap tercapainya permasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia.
Pasal 20
Pelaksanaan Kegiatan
(1) Kegiatan
pemasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia dilaksanakan oleh
Dewan Kehormatan Guru, dengan jalan bahwa pengurus pusat bertanggung
jawab untuk menetapkan garis-garis besar pemasyarakatan dan pembinaan
(GBPP) untuk dijabarkan dan dikoordinasikan pelaksanaannya di daerah.
(2) Dalam
melaksanakan pemasyarakatan dan pembinaan seperti ayat satu di atas,
maka Dewan Kehormatan Guru dapat bekerja sama dengan pengurus PGRI,
mitra pendidikan, dan instansi pemerintah dan kemasyarakatan lainnya,
yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Pengurus PGRI.
BAB IV
PENANGANAN PELANGGARAN KODE ETIK GURU INDONESIA
Pasal 21
T u j u a n
(1) Memecahkan
berbagai masalah pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia baik
berasal dari komponen pemerintah, masyarakat, atau guru dan tenaga kependidikan lainnya.
(2) Menegakkan
kebenaran dan keadilan bagi seluruh guru dan tenaga kependidikan
lainnya sebagai pelaksana pengabdian profesi guru dan tenaga
kependidikan lainnya; serta bagi seluruh komponen masyarakat sebagai
pemakai jasa pelayanan kependidikan.
Pasal 22
Sasaran yang ingin dicapai
(1) Menangani
berbagai perilaku yang menyimpang dari Kode Etik Guru Indonesia yang
dilakukan oleh guru dan tenaga kependidikan lainnya sewaktu melaksanakan
pengabdian profesi kependidikan.
(2) Penanganan penyimpangan seperti dimaksud dalam ayat satu di atas baru dapat dilakukan
apabila terjadi pengaduan, ada permintaan dari Pengurus PGRI dan atau
DKGI menduga terjadi adanya pelanggaran terhadap Kode Etik Guru
Indonesia.
Pasal 23
Proses Pengaduan
(1) Para
pihak yang menemukan terjadinya pelanggaran terhadap Kode Etik Guru
Indonesia dapat mengajukan melalui surat pengaduan kepada DKGI tempat
terjadinya masalah tersebut.
(2) Apabila
di daerah kejadian tersebut belum ada DKGI Kab/Kot maka surat pengaduan
diajuakan ke DKGI Provinsi, dan apabila juga belum ada, maka bisa
diajuka ke DKGI pusat.
(3) Surat
pengajuan pengaduan dianggap sah apabila diajukan secara tertulis dan
dilengkapi dengan berbagai identitas pengaduan yang diajukan dan
bukti-bukti yang memperkuat dan menunjang terhadap pengaduan yang
diajukan tersebut.
(4) Surat
pengajuan pengaduan dianggap tidak sah apabila diajukan tidak
dilengkapi/disertai dengan bukti-bukti yang cukup, dan identitas yang
selayaknya dijelaskan, serta waktu kejadian tersebut sudah melewati
waktu dua setengah tahun atau lebih.
(5) Apabila
surat pengaduan pertama kali bukan diterima oleh pengurus DKGI Provinsi
dan atau Kabupaten/kota, maka paling lambat dua minggu setelah
diterimanya surat pengaduan tersebut harus segera diteruskan kepada DKGI
Kabupaten/kota dimana terjadinya kejadian tersebut diajukan.
(6) Apabila
DKGI dimana terjadinya kejadian pengajuan belum terbentuk, maka surat
pengaduan sebagaimana ayat 5 di atas harus diteruskan kepada DKGI PGRI
Provinsi, begitupun bagi DKGI PGRI Provinsi yang belum terbentuk, maka
pengajuannya harus diteruskan kepada DKGI pusat.
Pasal 24
Pengkajian
(1) Setiap
pengajuan yang diajukan karena pelanggaran terhadap Kode Etik Guru
Indonesia harus dikaji terlebih dahulu secara berhati-hati dan seksama
dengan prinsip penanganan berdasarkan asas praduga tak bersalah.
(2) Kegiatan
pengkajian sebagaimana ayat satu di atas untuk tahap pertama menjadi
tugas dan wewenang pengurus DKGI PGRI Kabupaten/kota dengan
langkah-langkah kegiatan sebagai berikut :
a. mempelajari identitas pengaduan yang diajukan;
b. mempelajari berkas-berkas sebagai bukti tertulis yang diajukan;
c. mengambil kesimpulan sementara absah dan tidaknya surat pengaduan tersebut;
d. Mempelajari masalah lebih dalam dan luas lagi, dengan cara :
1) mengundang
pengadu dan yang diadukan secara terpisah untuk sama-sama melengkapi
dan memberi penjelasan tentang duduk permasalahan sebenarnya;
2) mengundang
saksi dari para pihak secara terpisah apabila ada dan diajukan untuk
sama-sama meminta informasi dalam memperjelas masalah yang diajukan;
3) melakukan
kunjungan ke tempat terjadinya kejadian untuk memperoleh keterangan
yang lebih jelas dan akurat, ataupun hubungannya dengan benda-benda atau
barang-barang bukti yang sifatnya tidak bisa dipindahkan; dan
4) apabila
diperlukan maka diperbolehkan mengundang pihak-pihak tertentu yang
sesuai dengan masalah yang diajukan untuk dijadikan saksi ahli;
e. melakukan sidang DKGI secara lengkap untuk bermusyawarah dalam menentukan persiapan sidang–sidang selanjutnya.
Pasal 25
Barang Bukti
(1) Pada
waktu pemanggilan saksi dan kunjungan-kunjungan ke tempat kejadian,
maka pada waktu itu pula dapat dimintakan untuk memperlihatkan berbagai
barang bukti, dan jika diperlukan diminta persetujuan untuk membuat rekaman suara dan atau gambar.
(2) Apabila
pengadu dan teradu serta saksi menolak memperlihatkan barang bukti dan
pengambilan suara dan gambar sebagaimana ayat 1 (satu) di atas, maka hal
ini dapat dicatat untuk dijadikan bahan pertimbangan pada waktu
pengambilan keputusan.
(3) DKGI
tidak berwenang melakukan penyitaan terhadap barang-barang bukti yang
diajukan melainkan bisa melalui pihak–pihak yang berwenang sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
Kegiatan Pembelaan
(1) Pada waktu proses pengkajian dan sidang-sidang maka pihak teradu memiliki hak untuk didampingi oleh pembela.
(2) Yang dimaksud pembela adalah Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) PGRI.
(3) Hak yang dimiliki tersebut harus terlebih dahulu dikemukakan jauh sebelum sidang dimulai.
(4) mengingat
sifat kejadian yang ditangani menyangkut etika guru sangat khusus dan
lebih pelik, maka dibenarkan dan berhak untuk didampingi pembela dari
luar dapat dipertimbangkan, apabila yang dimintakan teradu adalah
pembela berasal dari luar LKBH PGRI.
Pasal 27
Penunjukan Saksi Ahli
(1) Apabila
dalam penanganan kejadian pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia dimaksud
diperlukan adanya saksi ahli, maka dapat dimintai kehadirannya dalam
setiap sidang dalam forum DKGI.
(2) Penunjuk saksi ahli menjadi wewenang sepenuhnya dari DKGI.
(3) Saksi
ahli tahap pertama harus diambil dari lingkungan organisasi PGRI
beserta seluruh kelengkapan perangkat organisasi, namun apabila tidak
ada maka dapat diminta di luar organisasi PGRI.
Pasal 28
Kegiatan Persidangan
(1) Tata
cara persidangan DKGI di daerah harus sesuai dengan tata cara yang
ditentukan DKGI pusat; (tata cara ini akan diminta penjelasan dari ketua
LKBH PB PGRI).
(2) Apabila
teradu menginginkan bantuan dan memanfaatkan jasa dari LKBH PGRI maka
LKBH PGRI tersebut harus memberitahukan kepada LKBH PGRI Propvinsi dan
LKBH PGRI Pusat.
(3) Apabila
pengkajian telah selesai dilakukan maka sebelum diambil keputusan
hendaknya LKBH PGRI diberikan kesempatan mengemukakan pendapatnya
tentang kejadian yang sedang di kaji.
Pasal 29
Pengambilan Keputusan
(1) Tata
cara pengambilan keputusan dalam sidang-sidang DKGI Provinsi dan atau
Kabupaten/Kota harus sesuai dengan yang ditentukan DKGI pusat;
(ketentuan hal ini akan minta penjelasan dari ketua LKBH PB PGRI).
(2) Keputusan
yang diambil oleh DKGI dalam penanganan pelanggaran Kode Etik Guru
Indonesia harus menyatakan dengan jelas bersalah atau tidak bersalah
bagi teradu.
(3) keputusan sebagaimana ayat dua di atas harus dibedakan antara kesalahan ringan, sedang, dan berat.
(4) Penetapan kategori kesalahan hendaknya didasarkan kepada kriteria sebagai berikut :
a. akibat yang ditimbulkan terhadap kehormatan profesi; keselamatan guru dan tenaga kependidikan lainnya;
b. itikad
yang ditunjukan cukup baik pihak teradu dalam membantu menyelesaikan
persoalan dimaksud; serta dorongan yang mendasari tumbuhnya kejadian
yang bisa dipertimbangkan;
c. kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi tumbuhnya kejadian; serta pendapat dan pandangan LKBH PGRI;
(5) Apabila
kejadian yang dimaksud menyangkut pelanggaran hukum dan masalah
tersebut sedang dalam proses hukum, maka hendaknya keputusan DKGI
ditunda sampai dengan keputusan hukum tersebut.
(6) DKGI harus mampu mencegah tumbuhnya proses hukum di pengadilan dengan upaya persidangan di DKGI tersebut.
Pasal 30
Pemberian Sanksi
(1) DKGI
merekomendasikan pemberian sanksi kepada badan pimpinan organisasi PGRI
yang setingkat dengan DKGI dan diteruskan kepada PB PGRI untuk
disampaikan kepada instansi pemerintah dan penyelenggara pendidikan yang
terkait.
(2) Dalam
hal sanksi yang langsung berhubungan dengan keanggotaan pada PGRI, maka
PB PGRI dapat mencabut keanggotaan guru atau tenaga kependidikan
tersebut bila DKGI memutuskan demikian.
(3) Sanksi yang diberikan akan tergantung kepada berat dan ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pihak tertentu.
(4) Sanksi
yang diberikan bisa berupa : (1) teguran; (2) peringatan tertulis; (3)
penundaan pemberian hak; (4) penurunan pangkat; dan (5) pemberhentian
dengan hormat; atau (6) pemberhentian tidak dengan hormat.
(5) Kalau
keputusan oleh Instansi terkait berupa pemberhentian dengan hormat atau
tidak hormat maksudnya adalah dalam waktu sementara melalui waktu yang
telah ditentukan, dan pada masa ini diadakannya pembinaan dari pihak
DKGI.
(6) Apabila
selama waktu pemberhentain sementara, tidak terjadi
perbaikan-perbaikan, maka akan ditetapkan pemecatan dan pemberhentian
dari anggota/pengurus PGRI, yang diikuti dengan penyampaian rekomendasi
kepada Instansi Departemen Pendidikan Nasional untuk diadakan tindakan
seperlunya.
(7) Keputusan tentang pemecatan dan pemberhentian tetap dikirimkan kepada pengurus PGRI/DKGI PGRI Provinsi maupun PB PGRI.
Pasal 31
Banding
(1) Apabila
kedua belah pihak antara pengadu dan teradu merasa tidak puas atas
keputusan yang telah ditetapkan DKGI, maka keduanya bisa menyatakan
untuk mengajukan naik banding.
(2) Naik
banding sebagaimana ayat satu di atas merupakan tahap awal yang harus
ditujukan kepada DKGI PGRI Provinsi, begitu pula selanjutnya bisa naik
banding tahap yang kedua yang ditujukan ke tingkat DKGI Pusat.
(3) Tata
cara pengakajian dan pengambilan keputusan pada pelaksanaan
sidang-sidang pada dasarnya sama antara DKGI PGRI Provinsi dan atau
Kabupaten/kota dengan di pusat.
(4) keputusan
yang diambil DKGI Pusat pada dasarnya merupakan keputusan final dan
mengikat yang tidak bisa diganggu gugat, kecuali datangnya keputusan
lain melalui Kongres PGRI.
Pasal 32
Perbaikan dan Pemulihan
(1) Perbaikan
dan pemulihan akan dilakukan apabila ternyata penerima sanksi
dinyatakan tidak bersalah; atau telah menjalani sanksinya sesuai
keputusan DKGI.
(2) Bagi
pihak penerima sanksi sebagaimana ayat 1 (satu) di atas akan segera
dikeluarkan perbaikan dan pemulihan yang disertai permintaan maaf kepada
penerima sanksi tersebut.
(3) Surat
perbaikan dan pemulihan sebagaimana pada ayat 2 (dua) di atas
disampaikan kepada penerima sanksi, instansi tempat bekerja, serta
kepada masyarakat secara umum.
(4) Penerbitan
surat keputusan perbaikan dan pemulihan dilakukan oleh Pengurus PGRI
dimana masalah tersebut ditangani dengan tembusan kepada pengurus PGRI
yang lebih tinggi dan yang dibawahnya termasuk pula kepada DKGI yang
bersangkutan.
Pasal 33
Administrasi
(1) Setiap surat pengaduan dan identitas pengadu diperlakukan sebagai surat rahasia dan jika dianggap perlu untuk dirahasiakan.
(2) Pemanggilan terhadap pengadu, teradu, dan saksi harus dilakukan secara tertulis dan paling banyak 3 kali pemanggilan.
(3) Apabila
pemanggilan sebagaimana pada ayat 2 (dua) di atas ada yang tidak datang
dan tanpa alasan yang sah, maka penanganan masalah tersebut harus
dilanjutkan tanpa kehadirannya.
(4) Dalam
hal minta keterangan terhadap pengadu, teradu, dan saksi oleh DKGI
tidak diawali dengan pengambilan sumpah, akan tetapi hanya dengan surat
pernyataan.
(5) Surat
dimaksudkan secara tertulis yang dibuat dan ditandatangani di atas
materai yang cukup di depan DKGI yang berisi bahwa keterangan yang akan
diberikan adalah benar.
(6) Apabila
pihak-pihak tersebut sebagaimana ayat 4 (empat) di atas tidak bersedia
atau menolak membuat atau menandatangani surat dimaksud, maka akan
menjadi catatan khusus sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan
keputusan.
(7) Semua
keterangan, barang bukti dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan
sidang-sidang DKGI harus dibukukan dan didokumentasikan secara lengkap
dan sempurna serta menjadi milik PGRI. Data-data tersebut sangat tidak
dibenarkan untuk diketahui oleh pihak ketiga atau pihak lain, kecuali
dinyatakan lain oleh ketentuan perundang-undangan dan diminta oleh
Negara.
BAB V
PENUTUP
Pasal 34
Penutup
Hal-hal lain yang belum diatur dalam ketentuan ini akan diatur tersendiri oleh DKGI.